Jahiliyah yang menjadi titik balik
Saat itu aku dan teman-temanku menempati kelas baru kami.
Ya, kami baru saja naik ke kelas dua jenjang sekolah menengah pertama (SMP). Haru
dan bangga yang kami rasakan. “Rasanya baru kemarin aku mengikuti masa orientasi
siswa (MOS), tapi sekarang udah di kelas dua aja”, gumamku dalam hati. Ternyata
yang lain pun merasakan hal yang sama, mereka juga tidak menyangka telah
melewatkan satu tahun pelajaran di sekolah kami tercinta.
Karena tahun itu tahun ajaran baru, sekolah pun
mengeluarkan beberapa kebijakan baru, diantaranya: siswa yang beragama Islam
diwajibkan mengenakan kerudung serta seragam busana muslim bagi perempuan dan
celana panjang bagi laki-laki. Bagi yang beragama non-Islam pun sekolah
mengenakan kebijakan yang sama, hanya saja untuk siswa perempuan mereka tidak
mengenakan kerudung. Hal ini guna mendukung program pemerintah daerah kabupaten
Bekasi.
Kebijakan
tersebut tidak hanya berlaku untuk siswa tahun ajaran baru, siswa kelas VIII
dan kelas IX pun diwajibkan untuk mengikuti aturan tersebut. Saat itu aku langsung
berpikir, berarti aku harus merubah cara berseragamku. Aku memang tidak
berkerudung, pakaian yang kugunakan masih serba pendek, termasuk seragam
sekolah yang kupakai selama ini. Alhasil, dalam sekejap penampilanku pun
berubah. Saat pergi ke sekolah aku mengenakan rok panjang dan kemeja lengan
panjang ditambah kerudung yang menutupi kepalaku. Awalnya aku merasa tidak
nyaman, karena harus berjalan kaki dari rumah ke sekolah, setiap pulang sekolah
aku merasa gerah dan kepanasan dengan penampilanku yang sekarang. Makanya
kerudung hanya kugunakan saat di
sekolah, ketika di rumah atau bepergian aku masih menggenakan pakaian serba
pendek.
Beberapa bulan
kujalani seperti itu. Aku mulai merasa malu dengan orang-orang di sekelilingku,
terutama dengan diriku sendiri. “kalau tidak siap untuk jadi orang baik jangan
terlalu memaksakan, kerudung itu bukan mainan, jadi jangan buka pakai
sesukamu”, aku memaki diri sendiri. Sampai akhirnya aku memutuskan untuk
merubah diriku, mengubah tingkah laku yang jauh dari kata baik.
Ayat demi ayat kupelajari firman-Nya
Aku lupa hari
itu tanggal berapa dan bulan apa, tapi yang kuingat hari itu adalah hari
jum’at. Seperti biasa, setiap jum’at siang sekolahku mengadakan keputrian bagi
siswa perempuan. Aku dan teman-temanku biasanya lebih memilih untuk pulang
lebih awal, karena kita berpikir itu lebih mengasyikan dari pada duduk diam
sambil mendengarkan pematerian. Sejak awal masuk sekolah aku memang tidak
terlalu tertarik untuk mengikuti kegiatan keislaman. Makanya seni tari adalah
ekstrakurikuler yang aku pilih sejak kelas satu. Waktu itu aku masih belum
berkerudung. Sekolahku sering mengikuti beberapa perlombaan tari dan biasanya
aku dan teman-teman yang mewakili.
Tetapi hari
jum’at itu terasa berbeda untukku. Aku memutuskan untuk mengikuti kegiatan
keputrian, kegiatan yang pertama kali kuikuti. Setelah bel tanda pelajaran
berakhir dibunyikan, aku langsung bergegas menuju ruang kelas yang digunakan
untuk berkumpul. Aku mendapati beberapa orang yang sudah berada di dalam
ruangan dan langsung masuk untuk menjadi bagian dari mereka. Alhamdulillah,
mereka menyambutku dengan baik. Karena keputrian bukanlah ekstrakurikuler, jadi
yang mengikutinya tidak terikat, biasanya hanya mereka yang memiliki waktu
luang atau mereka yang memang ingin benar-benar mempelajari tentang sisi perempuan
dari sudut pandang agama.
Pembahasan hari
itu ternyata tentang berhijab, subhanallah, padahal aku tidak mengetahui
sebelumnya tetapi sepertinya Allah memang membimbingku untuk menuju ke sana.
Pematerinya adalah ibu Rosa Lina, guru bimbingan konseling (BK), yang aku tahu
dulunya beliau pernah bergabung di Lembaga Dakwah Kampus tempat dia kuliah. Dia
membahas sebuah ayat dipertemuan itu, ayat yang Allah turunkan untuk menyapaku,
“Katakanlah kepada wanita yang beriman: "Hendaklah
mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka Menampakkan
perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. dan hendaklah mereka menutupkan
kain kudung kedadanya...” Q.S
An-Nuur: 31
itu lah ayat yang menjadi awal perjumpaanku dengan
hijabku yang sesungguhnya. Ayat yang membuat hatiku serasa terketuk. Selama ini
aku merasa sangat bodoh, kemana saja diriku, padahal Allah telah menetapkan
ketentuan yang telah dibuatnya berabad-abad tahun yang lalu.
Selesai
keputrian aku memutuskan untuk langsung bergegas pulang ke rumah. Dalam perjalanan
aku berpikir untuk tidak melepaskan kerudung ketika di luar rumah selain untuk
ke sekolah, mulai hari ini dan hari-hari selanjutnya. Beberapa hari aku
mencobanya, tapi hal itu hanya bertahan selama seminggu. Ternyata aku belum
siap, aku masih mengeluh dengan kegerahanku, ditambah lagi respon dari
orang-orang sekitar yang belum bisa menerima. Aku buka kembali kerudungku, lagi-lagi
aku hanya menggunakannya ketika sekolah saja.
Seiring berjalannya waktu, aku merasakan kegelisahan yang
tidak biasa, entah apa yang membuatku mulai merasa tidak nyaman dengan
penampilanku yang kembali seperti semula. Sesekali aku membaca surat An-Nuur
ayat 34, ayat yang disampaikan ketika pertama kali aku mengikuti keputrian di
sekolah. Kubaca ia berulang-ulang dan kupelajari maknanya. Butuh waktu satu
bulan untuk memutuskan bahwa aku harus mengenakan kerudung kembali. Aku
menyadari itu adalah perintah Allah yang tidak bisa dibantah, kalau tidak
dilaksanakan maka dosalah yang didapatkan. Astagfirullah..
Sejak
saat itu, meski hanya menggunakan kerudung pendek ditambah dengan kaos lengan
panjang dan celana jeans, tetapi aku mulai istikomah dengan penampilanku. Di rumah aku cukup merasa asing, karena ibu
dan empat orang kakak perempuanku tidak ada yang berhijab. Terkadang mereka
memang tidak memberikan sindiran secara langsung, tapi sesekali kakakku
mengomentari penampilanku, yang katanya terlihat agak norak. Tidak hanya
kelurgaku, orang-orang di sekitar termasuk teman-temanku juga memberikan
komentar yang hampir sama. Ya, ternyata mereka belum bisa menerima perubahanku.
Namun kondisi itu tidak membuatku mundur untuk berhijab. Perlahan-lahan,
aku justru mencoba untuk memakai kerudung yang sesuai dengan perintah-Nya, “hendaklah
mereka menutupkan kain kudung kedadanya”. Tidak hanya itu, lagi-lagi
firman-Nya menyapaku,
Hai Nabi, Katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak
perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin: "Hendaklah mereka mengulurkan
jilbabnya ke seluruh tubuh mereka". yang demikian itu supaya mereka lebih
mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak di ganggu. dan Allah adalah Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang.Q.S
Al-Ahzab: 59
aku berpikir tidak hanya kerudung, pakaianku pun harus
diperbaiki. Sebagai pelajar, aku merasa belum mampu mengeluarkan uang untuk
membeli kerudung dan pakaian baru. Oleh karena itu, aku menanyakan kepada guru
BKku, apakah dia memiliki kerudung panjang dan pakain syar’i yang sudah tidak
terpakai tetapi masih bisa digunakan. Selang beberapa hari kemudian dia
membawakannya untukku. Alhamdulillah, Allah mempermudahku.
Hari dan bulan berlalu, aku merasakan kenikmatan yang
belum pernah dirasakan sebelumnya. Aku merasa senang dengan penampilanku yang
sekarang. Indentitasku sebagai muslimah nampak jelas, lebih dari itu
penampilanku melindungiku, baik dari sinar matahari maupun dari pandangan mata
yang tidak bertanggungjawab. Sedikit demi sediki aku mulai mengurangi kegiatan
ekskul seni tari, sampai akhirnya aku memutuskan untuk keluar dan berganti
ektrakurikuler. Aku mengikuti ekskul Rohani Islam atau ROHIS.
Selanjutnya aku pun memutuskan untuk menutup auratku yang
lain, ya, telapak kaki. Aku mencoba mengenakan kaos kaki ketika hendak keluar
rumah. ibuku merasa heran, “kenapa pake kaos kaki, apa nggak terlalu
berlebihan, nanti bagaimana kalau dilihat orang,” ungkapnya. Aku yang waktu itu
terburu-buru karena hendak mengikuti pengajian tidak sempat menjelaskan
kepadanya, hal itu membuatku sedikit merasa bersalah. Tetapi sepulangnya dari
tempat pengajian, kutebus kesalahanku. Aku mengambil al-Quran, kubuka surat
Al-Ahzab ayat 59, kusampaikan bahwa dengan menutup seluruh aurat yang Allah
tentukan, maka seorang wanita akan mudah dikenali dan mereka tidak akan
diganggu. Ibuku memang lembut hatinya, dia menerima penjelasan yang
kusampaikan. Tidak hanya ibuku, lambat laun kakak dan teman-temanku juga
menerima perubahan diriku.
Syukur pembuka rejeki
Alhamdulillah, dengan berhijab kemudahan itu Allah berikan kembali. Di
tahun ketiga aku bersekolah, aku mendapatkan info dari kesiswaan bahwa aku
termasuk kedalam 100 siswa berprestasi se-Provinsi dan berhak mendapatkan
beasiswa pembinaan sebesar Rp 900.000-,. Tidak hanya itu, aku juga terpilih
sebagai siswa lulusan terbaik tahun ajaran 2007/2008 dengan nilai UAS dan UN
tertinggi di sekolahku.
Hingga jenjang SMA, prestasiku tidak menurun, beberapa
beasiswa kembali kudapat di sekolah. Sampai saat ini, ketika nikmat itu berlanjut
hingga statusku telah berubah menjadi mahasiswa, Allah masih mengistikamahkan
hatiku untuk berhijab. Merasakan nikmatnya mendekat pada Dia yang maha
pengasih. Maha Suci Engkau ya Allah,
maka nikmat mana lagi yang bisa kudustakan.
“hijab bukan benda tak hidup yang selalu diam tanpa bergerak,
berhijab adalah urusan hati, ia harus terus dipupuk dan diperbaharui agar tidak
mati”.
Biodata Penulis
Nama : Linah
Status : Mahasiswa (Pend. Bahasa Arab/
UPI)
FB/ Twitter : ‘Nah Mufidah/@Nah_Mufidah