Kakiku Auratku, Kamu?

Sore itu aku berjalan pulang kuliah, memang jalur pulangku ini harus melewati masjid kampus. Jalan ini sudah sangat ku hapal, bahkan lubang-lubangnya pun aku sudah hapal ada di daerah mana saja. Tapi sore ini sesuatu membuat jalanku tersendat, melambat. Seorang teteh yang tidak kukenal tampak sibuk melipat-lipat kaoskakinya yang berlubang lantaran tersangkut paku. "Ngapain ribet amat ya benerin kaos kaki, pake aja sih udah. Beres deh semua urusan." batinku singkat sambil berlalu.

Baru beberapa langkah beranjak, teteh tadi mendahuluiku sambil tersenyum. Agaknya dia tahu aku memperhatikannya saat dia melipat-lipat kaoskaki berlubangnya untuk dipakai lagi. Ah, malunya aku. Rupanya aku belum sepintar itu untuk memperhatikan orang dengan diam-diam.

Entah apa yang membuatku memperhatikan kaki teteh tadi, apa kabar ya kaos kakinya? Aku penasaran. Akhirnya kuberanikan memanggilnya, bermodal senyum simpul dan percaya diri yang agak dipaksakan, aku membuka pembicaraan "Ehm, teteh punten. Boleh nanya nggak?" sambil membatin semoga teteh itu tidak menilaiku aneh dengan tiba-tiba memanggil lalu menodong pertanyaan tanpa basa-basi. "Iyaa, ada apa dek?" Luar biasa ternyata ramahnya teteh itu. 

Aku bertanya, teteh kaoskaki berlubang menjawab. Tak ada pembicaraan spesial yang melebar karena jawabannya cukup membuatku terdiam paham dengan alasannya bersusah-susah melipat kaoskaki berlubangnya agar bisa dipakai lagi untuk pulang. 

Aku tahu bahwa ketika shalat, kakiku harus terbungkus rapat. Tapi aku tak pernah berpikir jauh bahwa kaki ini pun wajib ditutup untuk sehari-hari di depan non mahram. Aku tahu bahwa aurat wanita itu seluruh tubuh kecuali wajah dan telapak tangan, tapi tak pernah terbersit barang sedikit bahwa menutup kaki dengan kaos kaki ini sama pentingnya dengan memakai kerudung. Sama-sama aurat yang harus ditutup, dilindungi, tak untuk ditampak-tampakkan di depan orang lain yang tidak berhak.

Kutengok kakiku. Aku tersenyum kecut, ah kakiku masih belum terbungkus rupanya. Aku lalai. Teteh kaos kaki berlubang sudah melesat pergi, tapi obrolan lima menit tadi mengubah hidupku. Aku bertekad, sejak ini, sesampainya di kosan, aku akan mengumpulkan kaos kaki yang tercecer dan akan kupakai tiap aku keluar kosan. Kakiku auratku, sama halnya dengan rambutku, dan ini harus kututup rapat. Masih dengan senyum kecut, kuputar-putar rok supaya turun dan menutup kakiku yang masih polos kedinginan seolah menuntut haknya untuk juga ditutup rapat.

***

Shalihat, kita sering lalai dengan menyepelekan "ah, kan cuma kaki, yang penting mah pakai kerudung", padahal Rasul bersabda bahwa barangsiapa yang hari ini sama dengan hari kemarin sesungguhnya rugi, dan barangsiapa hari ini lebih buruk dari kemarin maka ia celaka, tapi barangsiapa hari ini lebih baik dari kemarin maka dia beruntung. Maka tidak ada pilihan lain selain terus belajar dan berusaha menjadi lebih baik. Perbaikan-perbaikan itu harus ada dalam tiap detiknya. Hal kecil pun akan menjadi besar jika ditumpuk dalam waktu lama, kan? Bukankah pepatah bilang sedikit-sedikit lama-lama menjadi bukit?


Kaki bukan bagian tubuh yang harus ditutup pada saat shalat saja, shalihat. Ia sama dengan rambut yang harus ditutup sempurna, atau dengan lengan yang juga tak boleh sembarang ditampakkan. Ayo pakai kaoskaki. Kakiku auratku, kamu? (@rahmadjati)

Leave a Reply

Silakan tinggalkan komentar atau masukan :)